dakwatuna.com – Belakangan ini semakin banyak
fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengamen khususnya di
dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut
muslimah dengan memakai kerudung segala. Selain itu ironisnya, di media
pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan
mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara
talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil
memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk
mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan
seksual. Bagaimanakah sebenarnya Islam memandang masalah transgender
tersebut dan bagaimanakah hukum operasi kelamin serta mengubah-ubah
jenis kelamin serta peran dokter dan para medis dalam hal ini. Apa
konsekuensi hukum dari pengubahan alat kalamin tersebut misalnya
menyangkut pembagian warisan, ibadah dan interaksi sosial.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim
disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender
merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak
adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun
adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya
bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan
sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)
– III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome.
Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi
transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain:
perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya;
berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain;
mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua
tahun dan bukan hanya ketika dating stress; adanya penampilan fisik
interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya
kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology
(1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala
pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta
tingkah laku negativisme.
Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan
faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah
pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam
tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang
kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri.
Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus
transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan),
menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis
jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak
memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan
berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan
dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut
syariat Islam.
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci
persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal
tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis
kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin
normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar
(penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3)
Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis
dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan
oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini
sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/
Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis
kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan
jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada
dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13
yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality
(keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan hukum yang
masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini
tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai
kodratnya; (2) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 119. Menurut
kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi
(III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena
termasuk “mengubah ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas
yaitu seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut
dengan sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus
(seorang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya
waria dan sebaliknya); (3) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang
tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang
yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan
dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.:
“Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus ini sebenarnya
berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan
merubah ciptaan Allah melainkan melalui pendekatan spiritual dan
kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan
atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para
ulama diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak
memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik
penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau
menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin
yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang
harus diobati.
Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan
(1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir
dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan
sosial sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan
masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti
melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks dan lesbianisme.
Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi saw.:
“Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari) Guna
menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh
dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal”
(Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari
dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan
syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah
wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan
penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu
penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis
dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal
dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi
untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya.
Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada
bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang
menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia
boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan
demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan
syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan
keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri
baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan
apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan
sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat
(kerusakan) tersebut, menurut Makhluf dan Syalthut, syariat Islam
membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan
dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi kelamin yang
dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat
kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada
bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup
lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya,
apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam
kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan
menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan
identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang
penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di bagian dalam
kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang karena
operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya
berarti melakukan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah SWT;
dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada
fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai
dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai
kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul
Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi
Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren
Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini
dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang
dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa karena termasuk
bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya adalah
sesuai syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia mendapat pahala dan
terpuji karena termasuk anjuran bekerja sama dalam ketakwaan dan
kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan
tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama
dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut
Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi
penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria
(dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami
kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau
takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan
membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut
Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa)
didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya,
maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan
status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan
penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi
kejelasan status hukumnya. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Daftar